Pesawat terbang merupakan salah satu penemuan alat transportasi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia sepanjang sejarah kehidupan manusia di bumi ini. Pesawat terbang pertama kali ditemukan oleh Wright bersaudara pada tahun 1904. Melalui beberapa percobaan terbang dimana gagal dan dicoba kembali hingga akhirnya pada tahun 1904 tersebut Wright bersaudara berhasil menemukan bagaimana manusia bisa terbang dengan sebuah alat transportasi bernama pesawat terbang.
Dengan pesawat terbang yang pada awal penemuannya belum sesempurna pada saat sekarang, setidaknya membuat perjalanan manusia tidak hanya berkutat di darat dan laut saja, melainkan juga dapat dilakukan melalui udara. Tidak hanya itu dengan adanya pesawat terbang perjalanan manusia menuju suatu lokasi di suatu daerah dapat dipersingkat dengan adanya pesawat terbang ini dalam kehidupan manusia.
Berikut merupakan ulasan singkat tentang sejarah penerbangan yang ada di Indonesia secara singkat dimana Indonesia juga memiliki cerita tentang pesawat terbang dan penerbangan. Mari kita simak ulasannya.
Penerbangan Indonesia Pada Zaman Penjajahan Belanda
Langkah awal kedirgantaraan (penerbangan) di Indonesia dimulai sejak zaman Hindia Belanda, yaitu pada tahun 1890 ketika Batavia (sekarang Jakarta) dan di Aceh dilakukan "penerbangan balon"(ballonvaarten) dan telah berjalan dengan memuaskan. Peristiwa tersebut merupakan percobaan pertama yang dilakukan oleh KNIL (Koninklijk Nederlands Indiesch Leger) di bidang penerbangan. Pada pertengahan tahun 1905 orang Belanda yang bernama Ir. Onnen memulai percobaan untuk membuat pesawat terbang dengan menggunakan bahan bambu dan kulit kerbau di daerah Sukabumi, Jawa Barat pada saat itu.
Setelah itu, Pemerintah Hindia Belanda secara sungguh - sungguh merencanakan untuk mengadakan pengembangan yang dimulai pada tahun 1913 mengadakan uji coba terbang di atas Surabaya dengan sebuah pesawat yang didatangkan dari negeri Belanda yang diangkut dengan kapal laut. Penerbangan pertama ini terjadi pada tanggal 19 Februari 1913 dengan menggunakan pesawat udara Fokker yang dikemudikan oleh J.W.E.R Hilgers. Peristiwa ini bukan saja merupakan penerbangan pertama di Indonesia, tetapi juga merupakan kecelakaan pertama yang terjadi di Indonesia, karena pesawat yang dikemudikan Hilgers tersebut jatuh di desa Beliweri, dekat Surabaya.
Pada tahun 1914 VOC Belanda membuat lembaga khusus untuk membuat ekseperimen percobaan penerbangan dengan nama Proef Vlieg Afdeling dimana memang lembaga ini memiliki tujuan untuk memproduksi pesawat terbang yang nantinya akan beroperasi di wilayah Asia terutama di Indonesia. Belanda pada tahun 1923 berhasil mendirikan Technische Dienst Luchtvaart Afdeling yang berlokasi di daerah Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Lembaga ini merupakan cikal bakal dari berdirinya industri pesawat terbang di Indonesia. Pusat lembaga ini pada tahun 1924 dipindah ke lapangan udara Andir, yang mana lapangan Andir yang kita kenal pada saat ini sudah berganti nama menjadi Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara.
Pada saat itu investasi pemerintah Belanda melalui VOC banyak mengucurkan fasilitas dan dana untuk kegiatan perakitan pesawat pembom yang memang pada saat itu digunakan untuk melawan serangan bangsa Jepang yang juga ingin berkuasa di Indonesia. Pada tahun tersebut muncullah insiyur perakit pesawat terbang seperti Akhmad Taslim dan Tossin yang merupakan tokoh Indonesia yang diajak bekerjasama dengan pemerintah Belanda pada saat itu yang diwakili oleh Ir. M.V. Pattist dan L.W. Walvaren. Mereka berempatlah pioner yang mampu menciptakan beberapa pesawat terbang bermesin tunggal seperti PW1 dan PW2 yang berhasil terbang di udara dengan lancar. Terutama PW2 yang berhasil melakukan perjalanan udara mencapai negeri Belanda pada tahun 1935 dimana pesawat PW2 berhasil mencuri perhatian dunia pada saat itu. Dengan rangkaian peristiwa inilah Indonesia memang menjadi bagian dari sejarah penerbangan kedirgantaraan dunia, bahkan pelopor industri pesawat terbang dunia yang legendaris seperti Anton Herman Gerard Fokker pendiri perusahaan pesawat Fokker ini lahir di Indonesia tepatnya di kota Kediri jawa Timur.
Pada 1 Oktober 1924, KLM, perusahaan penerbangan Belanda menggelar penerbangan lintas benua perdananya, menghubungkan Amsterdam dengan Batavia dengan menggunakan pesawat Fokker F-VIII. Pada September 1929, KLM memulai layanan penerbangan berjadwal antara Amsterdam dan Batavia. Rute ini menghubungkan Amsterdam ke Marseille, Roma, Brindisi, Athena, Merza Matruh, Kairo, Gaza, Baghdad, Bushire, Lingeh, Ojask, Gwadar, Karachi, Jodhpur, Allahabad, Kalkuta, Akyab, Rangoon, Bangkok, Alor Star, Medan, Palembang, dan Batavia, dan dilanjutkan ke Bandung. Sampai menjelang pecahnya Perang Dunia Kedua, jalur penerbangan ini adalah jalur penerbangan berjadwal terpanjang di dunia.
Perusahaan penerbangan domestik pertama di Hindia Belanda adalah Koninjlijke Nederlands-Indische Maatchappij (KNLIM) yang didirikan pada 16 Juli 1928. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan antara Deli-Maatchappij, Nederland Handel, KLM, dan perusahaan-perusahaan lain yang mempunyai kepentingan di Hindia Belanda, dan Pemerintah Hindia Belanda, dengan modal sebesar 5.000.000 gulden. Penerbangan perdananya menghubungkan Batavia-Bandung, dan Batavia-Semarang, mulai 1 November 1928. Peresmian penerbangan perdananya digelar di lapangan terbang Cililitan di Batavia (kini Bandar Udara Internasional Halim Perdana Kusuma). Penerbangan Batavia-Semarang kemudian diperpanjang ke Surabaya. Secara bertahap, layanan penerbangannya diperluas dengan menjangkau pulau-pulau lain di Nusantara, antara lain Palembang dan Medan di Sumatera, Balikpapan dan Tarakan di Kalimantan, dan Denpasar di Bali. Segera sebelum Perang Pasifik, KNILM juga membuat jejaring penerbangan di kawasan timur Hindia Belanda, dengan menghubungkan kota Ambon. Untuk keperluan ini, pesawat amfibi yang dapat mendarat di atas permukaan air, seperti pesawat amfibi Vought/Sikorsky VS 42 dan 43 serta Grumman G-21 digunakan, karena kurangnya fasilitas lapangan terbang di kawasan ini.
Penerbangan Pada Zaman Kemerdekaan Indonesia
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. sejarah penerbangan nasional dimulai di Aceh, ditengah-tengah kancah revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Rakyat Aceh berupaya mengumpulkan dana sumbangan guna membeli sebuah pesawat udara, dan berhasil membeli sebuah Dakota DC-3 yang diberi nama "Seulawah"dengan No. RI-001. Pada saat itu "Seulawah"digunakan untuk menjembatani Pulau Jawa dan Sumatera dalam rangka menembus blokade Belanda. Pada tanggal 26 Januari 1949, "Seulawah" mendarat di Pelabuhan Udara Mingaldon, Rangoon, untuk memulai usaha-usaha komersial, yaitu dalam bentuk charter. Setelah mendapat lisensi dari Pemerintah Burma, pesawat tersebut didaftarkan sebagai Ïndonesia Airways", dan merupakan perusahaan penerbangan pertama sejak Indonesia merdeka. Operasi "Indonesia Airways" di Burma berhenti pada awal tahun 1950.
Setelah negara Indonesia merdeka, fasilitas milik pemerintah negara Belanda di Indonesia mulai diambil alih oleh bangsa Indonesia. Semua fasilitas penerbangan pada saat itu dikuasai oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) bagian udara. Fasilitas seperti pabrik pesawat terbang di lapangan udara Andir (Bandung), lapangan udara Maguwo (Yogyakarta), dan lapangan udara Maospati (Madiun) telah dikuasai oleh TRI pada saat itu. Pada masa perang kemerdekaan melawan penjajahan Jepang, bangsa Indonesia juga banyak mengambil alih dan memodifikasi beberapa pesawat terbang milik tentara Jepang seperti pesawat Cureng atau lebih dikenal dengan sebutan pesawat Nishikoren. Pada saat itu munculah tokoh dirgantara seperti Adi Sutjipto yang juga berhasil memodifikasi pesawat peninggalan Belanda seperti B-25 Mitchells yang mampu terbang secara lebih baik.
Lapangan udara Maospati pada saat itu juga berhasil mengeluarkan produk pesawat seperti Zogling yang diluncurkan dengan nama NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider), dimana memang dinamakan dengan insinyur yang berhasil mengembangkan model pesawat yaitu Nurtanio Pringgoadisurjo. Dengan bantuan dari insiyur lainnya pesawat NWG-1 ini berhasil diproduksi sebanyak 6 buah dan pada saat pertama kali diperkenalkan kepada dunia yakni pada waktu pelatihan dan pendidikan militer di India pada tahun 1946. Pesawat kedua yang berhasil dibuat oleh bangsa Indonesia adalah pesawat WEL-1 atau dikenal dengan RI-X yang dirancang oleh Wiweko Soepono pada tahun 1947 dengan menggunakan mesin Harley Davidson pada waktu itu. Perkembangan industri dirgantara di Indonesia terhenti sesaat karena adanya pemberontakan G-30-S-PKI di Madiun dan juga adanya agresi Belanda yang ingin menguasai Indonesia lagi pada tahun 1949.
Penerbangan Pada Zaman Pasca Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 25 Desember 1949, Dr. Konijnenburg, mewakili KLM menghadap dan melapor kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta bahwa KLM Interinsulair Bedrijf akan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan meminta Presiden memberi nama bagi perusahaan tersebut karena pesawat yang akan membawanya dari Yogyakarta ke Jakarta nanti akan dicat sesuai nama itu.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekarno menjawab dengan mengutip satu baris dari sebuah sajak bahasa Belanda gubahan pujangga terkenal, Raden Mas Noto Soeroto di zaman kolonial, Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden ("Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauanmu").
Maka pada tanggal 28 Desember 1949, terjadi penerbangan bersejarah pesawat DC-3 dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair yang membawa Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Kemayoran, Jakarta untuk pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan logo dan nama baru, Garuda Indonesian Airways, pemberian Presiden Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.
Garuda Indonesian Airways pada awalnya merupakan perusahaan patungan antara KLM Royal Dutch Airline dengan Pemerintah Indonesia, dan diberi nama Garuda Indonesia Airways NV, dengan modal awal 30.000.000 gulden. Pemerintah Indonesia dan KLM masing-masing memiliki saham 50%. Pada tahun 1954, KLM memindahkan seluruh sahamnya kepada Pemerintah Indonesia. Sejak itu, Garuda Indonesia Airways menjadi perusahaan penerbangan nasional sepenuhnya, dan merupakan pembawa bendera Indonesia dalam penerbangan internasional (national flag carrier).
Di tahun-tahun awal berdirinya Republik Indonesia, Garuda Indonesia Airways mendominasi layanan penerbangan di negara ini, menghubungkan kota-kota besar di Nusantara. Pada 1956, Garuda Indonesia menggelar layanan penerbangan haji perdananya ke Mekkah dengan menggunakan pesawat Convair, mengangkut 40 jamaah haji Indonesia. Pada 1963, memulai layanan penerbangan ke Hong Kong. Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, maskapai ini menerima kiriman perdana pesawat Douglas DC-8 dan kemudian tumbuh lebih jauh melampaui pasar Asia yang biasa dilayaninya. Dimulai dengan melayani penerbangan berjadwal ke Amsterdam dan Frankfurt melalui Colombo, Bombay, dan Praha. Roma dan Paris menjadi tujuan Eropa ketiga dan keempat bagi Garuda Indonesia, dengan pemberhentian di Bombay dan Kairo untuk mengisi bahan bakar. Penerbangan ke Republik Rakyat Tiongkok dimulai pada tahun yang sama, dengan layanan ke Kanton via Phnom Penh.
Pada tahun 1952 Pemerintah membentuk “Djawatan Penerbangan Sipil” yang saat itu bertanggungjawab kepada Kementerian Perhubungan Udara, tugas dan tanggung jawabnya adalah menangani administrasi pemerintahan, pengusahaan dan pembangunan bidang perhubungan udara, Djawatan Penerbangan Sipil ini merupakan cikal bakal Direktorat Jenderal Perhubungan Udara saat ini.
Pada tahun 1960. sesuai dengan Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, 1 Agustus 1960 dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Lembaga yang diresmikan pada 16 Desember 1961 ini bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi penerbangan di Indonesia. Pada tahun ini juga LAPIP mewakili Pemerintah Indonesia dan CEKOP mewakili Pemerintah Polandia mengadakan kontrak kerjasama untuk membangun pabrik pesawat terbang di Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan pabrik, pelatihan karyawan serta produksi di bawah lisensi pesawat PZL-104 Wilga, lebih dikenal Gelatik. Pesawat yang diproduksi 44 unit ini kemudian digunakan untuk dukungan pertanian, angkut ringan dan aero club. Pada perkembangannya LAPIP diubah namanya menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR) untuk menghormati jasa – jasa Nurtanio Pringgoadisurjo sebagai salah satu pioner pesawat terbang di Indonesia. Pada perkembangannya LIPNUR berhasil bekerjasama dengan perusahaan Fokker untuk menyiapkan proyek pesawat terbang komersial di Indonesia.
Pada tahun 1962, berdiri perusahaan transportasi udara milik negara yang kedua, yaitu Merpati Nusantara Airlines. Tujuan utama didirikannya Merpati adalah untuk menghubungkan kota-kota kecil dengan kota-kota besar di dalam negeri, seperti antara ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten, disamping melaksanakan "penerbangan perintis"untuk menghubungkan daerah-daerah terpencil dengan kota-kota besar (feeder line). Namun sayang, saat ini Merpati sudah tidak lagi meramaikan dunia penerbangan Indonesia. Maskapai ini berhenti beroperasi pada Februari 2014 dan kemudian dinyatakan pailit (bangkrut). Pada tahun yang sama dengan berdirinya Merpati ini, berdasar SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan jurusan Teknik Penerbangan ITB sebagai bagian dari Bagian Mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan adalah Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie. Kedua tokoh ini adalah bagian dari program pengiriman siswa ke luar negeri (Eropa dan Amerika) oleh Pemerintah RI yang berlangsung sejak tahun 1951. Usaha-usaha mendirikan industri pesawat terbang memang sudah disiapkan sejak 1951, ketika sekelompok mahasiswa Indonesia dikirim ke Belanda untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan di TH Delft atas perintah khusus Presiden RI pertama. Pengiriman ini berlangsung hingga tahun 1954. Dilanjutkan tahun 1954 - 1958 dikirim pula kelompok mahasiswa ke Jerman, dan antara tahun 1958 - 1962 ke Cekoslowakia dan Rusia. Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh putera Indonesia - B.J. Habibie - di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ. Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se-Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.
Kemudian, pada tahun 1963 Pemerintah merubah nama Djawatan Penerbangan Sipil menjadi Direktorat Penerbangan Sipil seiring dengan perkembangan dunia usaha penerbangan. Pada tahun ini juga dibentuk Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia (DEPANRI). Lalu pada tahun 1965 melalui SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) - yang intinya LAPIP - serta PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari. Proyek ini bekerjasama dengan Fokker, KOPELAPIP tak lain merupakan proyek pesawat terbang komersial. Pada bulan Maret 1966 Nurtanio gugur ketika menjalankan pengujian terbang, sehingga untuk menghormati jasa beliau maka nama LAPIP diubah menjadi LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam perkembangan selanjutnya LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service, maintenance, repair & overhaul.
Untuk mendorong perkembangan dunia usaha penerbangan yang semakin baik, pada pemerintahan Orde Baru telah membentuk Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada tahun 1969 guna menyesuaikan kebutuhan dan pemanfaatannya sebagai pengganti dan penyempurnaan Direktorat Penerbangan Sipil dengan struktur organisasi terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Angkutan Udara Sipil, Direktorat Keselamatan Penerbangan dan Direktorat Fasilitas Penerbangan. Pada tahun yang sama, penerbangan swasta di Indonesia mulai tumbuh dengan didirikannya Mandala Airlines, menyusul pula Bouraq pada tahun 1970. Maskapai penerbangan swasta ini secara langsung bersaing dengan maskapai penerbangan milik pemerintah (BUMN) yaitu Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara Airlines. Pada tahun 1974 struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara disempurnakan menjadi Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan, Direktorat Pelabuhan Udara dan Direktorat Telekomunikasi Navigasi Udara & Listrik.
Pada tahun 1976 IPTN hadir dan mengambil alih semua fasilitas kedirgantaraan di Indonesia termasuk LIPNUR pada saat itu. Pada jaman pemerintahan Orde Baru IPTN mendapatkan kucuran dana dan fasilitas yang besar dari pemerintah untuk mengembangkan dunia kedirgantaraan di Indonesia agar mampu berbicara lebih di tingkat dunia. Pesawat seperti N-250 dan N-230 berhasil diciptakan, namun IPTN mengalami kegagalan pada saat bekerjasama membuat pesawat Soko Galeb yang pada waktu itu didukung oleh Serbia/Yugoslavia karena proyek ini tidak berjalan dengan baik. Pada jaman Orde Baru IPTN melalui pemerintah juga mengirimkan beberapa anak muda ke luar negeri untuk menyerap pengetahuan seputar dunia perakitan dan pembuatan pesawat terbang, salah satu lulusan yang terkenal adalah B.J. Habibie. Pada jaman pemerintahan Soeharto IPTN banyak sekali kehilangan order dan kesempatan, dana miliaran rupiah tidak menjadikan sebuah hasil yang maksimal. Kondisi keuangan yang memburuk pada IPTN membuat IPTN melepas tenaga – tenaga terbaiknya ke luar negeri, karena pada saat itu industri pesawat terbang di luar negeri juga sedang bagus – bagusnya.
IPTN pun berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI), PT Dirgantara Indonesia tidak langsung merespon dengan membuat pesawat seperti sejarah masa lalu, namun PT Dirgantara Indonesia hanya memasok supplai komponen pesawat. Perusahaan seperti Boeing, Airbus, dan British Aerospace berhasil digandeng. Namun pada perkembangan inovasi akan teknologi pembuatan dan perakitan pesawat terbang juga dimulai kembali oleh PT Dirgantara Indonesia. Pada jaman pemerintahan Gus Dur PT Dirgantara Indonesia berhasil memperoleh keuntungan bersih Rp. 11 Miliar yang merupakan suatu sejarah tersendiri bagi industri penerbangan di Indonesia. Hingga akhirnya dunia penerbangan mampu berkembang hingga sekarang.
Penerbangan Indonesia terus berkembang bukan hanya bidang lalu lintas dan angkutan udara saja, namun sudah mulai dengan perkembangan industri pembuatan pesawat terbang sehingga diantisipasi dengan pembentukan direktorat khusus yang menangani kelaikan udara berstandar internasional, Pemerintah mengeluarkan KM 58 Tahun 1991 mengenai penyesuaian struktur organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, strukturnya terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Angkutan Udara, Direktorat Keselamatan Penerbangan, Direktorat Teknik Bandar Udara, Direktorat Fasilitas Elektronika dan Listrik dan Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara.
Pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan deregulasi penerbangan, yang memungkinkan perizinan yang lebih mudah untuk mendirikan maskapai penerbangan baru. Kebijakan ini bermaksud untuk merangsang investasi transportasi dan meningkatkan bisnis penerbangan di dalam negeri, di samping untuk menggairahkan industri pariwisata di kawasan. Akibatnya, maskapai-maskapai penerbangan baru tumbuh dan bermunculan, antara lain Lion Air (didirikan 1999), Sriwijaya Air (didirikan 2003), Adam Air (beroperasi 2002 sampai 2008), dan Batavia Air (beroperasi 2002 sampai 2013). Kebijakan deregulasi ini merangsang tumbuhnya layanan maskapai penerbangan berbiaya rendah di Indonesia. Sebelumnya layanan penerbangan di Indonesia didominasi oleh maskapai yang telah berpengalaman seperti Garuda Indonesia dan Merpati.
Jika dilihat dari rentetan sejarah panjang penerbangan di Indonesia, ternyata Bangsa Indonesia bukan hanya bangsa yang dapat menggunakan produk bangsa lain yang sudah ada. Usaha-usaha untuk menuju industri pesawat terbang tampak nyata, bahkan sebelum adanya orde baru. Betapa tingginya cita-cita bangsa Indonesia, yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. Demikian ulasan singkat ini dibuat semoga mampu menjadi informasi yang bermutu dan mampu menginspirasi kita semua. Salam.
REFERENSI
Melissa, Mengenal Lebih Dalam Tentang Sejarah Penerbangan di Indonesia, <http://miner8.com/id/4801>, diakses 27 Oktober 2016.